Kini aku sudah lega. Tidak lagi gelisah. Dia sudah pergi. Tidak
ada lagi orang yang menguntitku, dan tidak ada lagi anak panti yang
bertanya-tanya padaku.
Aku tinggal di panti asuhan bersama
beberapa teman yang baru kukenal. Sejak tidak punya rumah, pembantuku menitipkan
aku ke sebuah panti asuhan. Saudara yang lain juga sependapat. Katanya anak
remaja seperti aku harus punya banyak teman untuk diajak bicara. Jadi mereka
meninggalkanku di sini. Tapi bagiku, anak-anak di sini tidak akan mengerti
bagaimana rasanya kehilangan ayah dan ibu. Jadi percuma saja aku berbicara pada
mereka. Mereka tidak tahu apa-apa.
Sejak rumahku terbakar, ayahku
meninggal, dan ibuku sakit jiwa, ada seseorang yang diam-diam mengikutiku.
Entah sudah berapa lama orang itu mengikutiku. Aku baru menyadarinya beberapa
hari yang lalu. Saat itu, aku duduk di pekarangan belakang panti asuhan.
Seperti biasanya, aku hanya merenung dan menghindari anak-anak lainnya yang selalu
bertanya-tanya tentang aku. Tiba-tiba saja aku merasa ada seseorang yang
memerhatikan gerak-gerikku. Aku tetap diam ditempat. Bola mataku bergerak ke
kanan dan ke kiri. Tapi jangkauan mataku belum menemukannya. Jika aku bergerak,
aku takut orang itu akan hilang dan aku tidak akan tahu siapa dia.
Aku berusaha mencari sosoknya di
sudut jangkauan mataku. Lama-lama bulu kudukku merinding. Aku merasa sosok
misterius itu dekat di belakangku. Aku takut dia akan menyerangku dari
belakang. Tanpa menoleh ke belakang, aku berlari ke dalam kamar. Teman-teman
melihatku. Mereka kelihatannya heran. Aku tidak peduli. Aku tetap berlari
menuju kamar lalu tidur.
Keesokannya, aku kembali ke
pekarangan belakang. Dengan berjalan setengah mengendap karena takut ada
seseorang yang tahu keberadaanku, aku kembali duduk dan merenung. Teman-teman
mengajakku bermain. Tapi aku tidak mau. Mereka tidak mengerti aku sedang sedih
dan terpukul. Mereka malah mengajakku bermain. Mereka meledekku. Karena itu
lebih baik aku duduk di pekarangan belakang.
Saat aku duduk merenung, tiba-tiba
saja aku merasa ada seseorang memperhatikanku. Sepertinya orang yang kemarin
mengintipku datang lagi. Tapi sekarang aku merasa orang itu semakin berani
mendekatiku. Bulu kudukku berdiri. Keringat dingin muncul. Badanku menggigil.
Tapi kuberanikan diri untuk menoleh kebelakang. Saat aku menoleh, aku melihat
sosok yang tinggi dan sedikit kurus dengan tubuh yang hitam pekat berada di
belakangku. Aku sontak berteriak dan berlari. Aku berlari sekencang mungkin,
tapi dia masih mengikutiku. Aku bersembunyi di balik pohon beringin besar di
pekarangan belakang. Dengan nafas yang ngos-ngosan, aku mengintip dari balik
pohon. Orang itu sudah hilang. Aku kembali mengatur nafasku. Aku harus berlari
menuju ke dalam panti. Agar orang itu tidak dapat mengikutiku.
Aku berlari dengan langkah yang
sangat lebar. Dia mengikutiku. Aku berputar melewati pintu sebelah barat panti.
Dia tetap mengejarku. Aku berlari secepat mungkin untuk menggapai pintu barat
panti dan berharap dia tidak dapat mengejarku di dalam panti. Tapi yang kutahu,
dia pasti mengikuti masuk ke dalam panti karena aku tidak sempat menutup
pintunya. Aku berteriak minta tolong dan berlari menuju kamar, kemudian
sembunyi di balik selimut. Tidak lama kemudian anak-anak panti yang lainnya
datang. Mereka semua panik dan bertanya padaku. Tapi benar dugaanku. Mereka
tidak tahu apa-apa.
Aku mengusir mereka keluar dari
ruangan. Aku perlu berpikir, mencari cara bagaimana agar orang ini berhenti
mengikuti. Aku ingat. Di ujung jalan sebelum ke panti, ada sebuah jembatan. Di
bawahnya ada tebing yang curam. Segera aku berlari. Penasaran, aku menoleh ke
belakang. Dan benar saja. Orang itu masih saja mengikutiku. Aku berlari kencang
menuju ujung jalan. Dengan optimistis aku tertawa. Sebentar lagi aku akan
mengusirnya. Aku berteriak memakinya dan mengancamnya untuk berhenti mengikuti
sebelum tiba di jembatan. Tapi sepertinya dia tidak peduli dengan ancamanku.
Ternyata nyalinya besar juga. Aku semakin kencang berlari. dan setiba di
pinggir jembatan. Aku berhenti. Aku memberanikan diri untuk berhadapan dengannya.
Aku tertawa. Dia ikut tertawa. Aku melompat. Dia ikut melompat.
Benar saja. Setelah aku melompat dari
jembatan, dia sudah tidak mengikuti lagi. Sepertinya dia sudah mati. Bagaimana
mungkin dia masih hidup setelah melompat ke tebing yang banyak bebatuan dengan
kedalaman 25 meter. Aku tertawa puas dan kembali ke panti asuhan. Berjalan
santai sambil sesekali menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada
sosok hitam kurus yang menguntitku.
Kini aku sudah lega. Tidak lagi gelisah. Dia sudah pergi. Tidak
ada lagi orang yang menguntitku, dan tidak ada lagi anak panti yang
bertanya-tanya padaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar