I.
Kesusastraan
pada tahun 1966
Mengetahui perjalanan
sastra indonesia, merupakan salah satu cara untuk mengenal sejarah indonesia.
Dengan sastra kita mampu menggambarkan serta mengabadikan apa yang terjadi pada
saat itu.
Pada tahun 1966, terjadi
pergolakan bangsa yang cukup menempel pada memori sejarah indonesia, ketika
masa transisi dari pemerintahan orde lama menuju orde baru. Pada saat itu masih
kentalnya kekuasaan PKI, kontroversi antara manipol dan manikebu yang akhirnya
melibatkan para sastrawan pada saat itu, dan memancing para sastrawan untuk
turut melawan keadaan yang dinilai tak masuk akal pada saat itu. Bersama para
mahasiswa dan para pelajar yang ketika itu menuntut untuk membubarkan PKI, para
sastrawan dengan sajaknya ikut berjuang melawan tirani.
Selain itu, Lekra(Lembaga
Kebudayaan Masyarakat), yang memegang kebudayaan pada saat itu, BERHASIL
dikuasai PKI, kemudian muncul dengan ideologinya sosialis-komunis yang biasa
disebut kelompok kiri. Ideologi yang
dianut Lekra, rupanya dianggap tak sejalan dengan watak sastra dan pakem
berkebudayaan. Hal ini lah yang kemudian menjadi polemik yang berkepanjangan
pada saat itu antara kubu manifesto politik dengan manifesto kebudayaan.
II.
Biografi
Taufik Ismail
Taufik Ismail
merupakan penyair yang tergabung dalam angkatan 60’an. Taufik Ismail lahir di
Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935. Semasa kecil ia tinggal di
Pekalongan. Taufik Ismail masuk sekolah rakyat di solo, dan menamatkan sekolah
rakyat di Yogya. Kemudian beliau melanjutkan SMP di Bukit Tinggi, kemudian
melanjutkan SMA di Bogor. Taufiq Ismail, lulusan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Indonesia, Bogor (1963, sekarang Institut Pertanian Bogor.
Pada tahun
1956–1957 ia memenangkan beasiswa American Field Service Interntional School
guna mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, AS, angkatan
pertama dari Indonesia
Semasa kuliah
Taufik Ismail juga aktiv dalam kegiatan ORMAWA. Taufik Ismail pernah menjadi
Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960–1961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa
(1960–1962).
Taufik Ismail
juga pernah mengajar sebagai guru bahasa di SMA Regina Pacis, Bogor
(1963-1965), guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea
(1962), dan asisten dosen Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas
Indonesia Bogor dan IPB (1961-1964).
Taufiq menjadi
kolumnis Harian KAMI pada tahun 1966-1970. Kemudian, Taufiq bersama Mochtar
Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arief Budiman mendirikan Yayasan Indonesia, yang
kemudian juga melahirkan majalah sastra Horison (1966). Sampai sekarang ini ia
memimpin majalah itu.
Taufiq
merupakan salah seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail
Marzuki (TIM), dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) (1968). Di ketiga
lembaga itu Taufiq mendapat berbagai tugas, yaitu Sekretaris Pelaksana DKJ, Pj.
Direktur TIM, dan Rektor LPKJ (1968–1978). Setelah berhenti dari tugas itu,
Taufiq bekerja di perusahaan swasta, sebagai Manajer Hubungan Luar PT Unilever
Indonesia (1978-1990).
Taufik pernah
mewakili Indonesia baca puisi dan festival sastra di 24 kota di Asia, Amerika,
Australia, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Puisinya telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Jawa, Sunda, Bali, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan Cina.
Kegiatan
kemasyarakatan yang dilakukannnya, antara lain menjadi pengurus perpustakaan
PII, Pekalongan (1954-56), bersama S.N. Ratmana merangkap sekretaris PII Cabang
Pekalongan, Ketua Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1984-86), Pendiri Badan
Pembina Yayasan Bina Antarbudaya (1985) dan kini menjadi ketuanya, serta
bekerja sama dengan badan beasiswa American Field Service, AS menyelenggarakan
pertukaran pelajar. Pada tahun 1974–1976 ia terpilih sebagai anggota Dewan
Penyantun Board of Trustees AFS International, nnNew York.
Ia juga
membantu LSM Geram (Gerakan Antimadat, pimpinan Sofyan Ali). Dalam kampanye
antinarkoba ia menulis puisi dan lirik lagu “Genderang Perang Melawan
Narkoba” dan “Himne Anak Muda Keluar dari Neraka” dan digubah Ian Antono).
Dalam kegiatan itu, bersama empat tokoh masyarakat lain, Taufiq mendapat
penghargaan dari Presiden Megawati (2002).
Karya-karyanya
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Inggris, Jepang, Jerman, dan
Perancis. Buku kumpulan puisinya yang telah diterbitkan, antara lain:
Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya, et.al.),
Benteng (1966; mengantarnya memperoleh Hadiah Seni 1970), Tirani (1966),
Puisi-puisi Sepi (1971), Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971),
Buku Tamu Museum Perjuangan (1972), Sajak Ladang Jagung (1973), Puisi-puisi
Langit (1990), Tirani dan Benteng (1993), dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
(1999).
Selain itu,
bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad, Taufiq menerjemahkan karya penting
Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. Sedangkan bersama
D.S. Moeljanto, salah seorang seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan,
menyunting Prahara Budaya (1994).
Taufik juga
berkiprah dalam dunia musik. Atas kerja sama dengan musisi sejak 1974, terutama
dengan Himpunan Musik Bimbo (Hardjakusumah bersaudara), Chrisye, Ian Antono,
dan Ucok Harahap, Taufiq telah menghasilkan sebanyak 75 lagu. Salah satunya
yaitu yang dibawakan oleh Chrisye, “ketika Kaki dan Tangan berbicara”.
1. Tirani, Birpen KAMI Pusat (1966)
2. Benteng, Litera ( 1968)
3. Buku Tamu Musium Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta (buklet baca puisi) (1972)
4. Sajak Ladang Jagung, Pustaka Jaya (1974)
5. Kenalkan, Saya Hewan (sajak anak-anak), Aries Lima (1976)
6. Puisi-puisi Langit, Yayasan Ananda (buklet baca puisi) (1990)
7. Tirani dan Benteng, Yayasan Ananda (cetak ulang gabungan) (1993)
8. Prahara Budaya (bersama D.S. Moeljanto), Mizan (1995)
9. Ketika Kata Ketika Warna (editor bersama Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, Amri Yahya, dan Agus Dermawan, antologi puisi 50 penyair dan repoduksi lukisan 50 pelukis, dua bahasa, memperingati ulangtahun ke-50 RI), Yayasan Ananda (1995)
10. Seulawah — Antologi Sastra Aceh (editor bersama L.K. Ara dan Hasyim K.S.), Yayasan Nusantara bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Khusus Istimewa Aceh (1995)
11. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Yayasan Ananda (1990)
12. Dari Fansuri ke Handayani (editor bersama Hamid Jabbar, Herry Dim, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra Indonesia dalam program SBSB 2001), Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2001)
13. Horison Sastra Indonesia, empat jilid meliputi Kitab Puisi (1), Kitab Cerita Pendek (2), Kitab Nukilan Novel (3), dan Kitab Drama (4) (editor bersama Hamid Jabbar, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Herry Dim, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra Indonesia dalam program SBSB 2000-2001, Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2002)
Karya terjemahan:
1. Banjour Tristesse (terjemahan novel karya Francoise Sagan, 1960)
2. Cerita tentang Atom (terjemahan karya Mau Freeman, 1962)
3. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam (dari buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam, M. Iqbal (bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad), Tintamas (1964)
Taufik juga menerima banyak penghargaan akan
karya-karyanya, berikut adalah penghargaan-penghargaan yang diterima oleh
Taufik Ismail.
1.
Anugerah
Seni dari Pemerintah RI (1970)
2.
Cultural
Visit Award dari Pemerintah Australia (1977)
3.
South
East Asia (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (1994)
4.
Penulisan
Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994)
5.
Sastrawan
Nusantara dari Negeri Johor,
Malaysia (1999)
Malaysia (1999)
6.
Doctor
honoris causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (2003)
7.
pendiri
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki (TIM), dan Lembaga
Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) (1968).
8.
Terpilih
sebagai anggota dewan penyantun Board of Trustees AFS International, New York.
9.
Pengahargaan
dari Presiden Megawati (2002). Menulis puisi dan lirik lagu “Genderang Perang
Melawan Narkoba” dan “Himne Anak Muda Keluar dari Neraka” dan digubah Ian
Antono).
10. Penghargaan: - American Field
Service International Scholarship untuk mengikuti Whitefish Bay High School di
Milwaukee, Amerika Serikat (1956-57); - Anugerah Seni Pemerintah RI pada 1970;
dan - SEA Write Award (1997)
Dan
pengahargaan-pengahargaan lainnya.
III.
Karakteristik
dan Pemikiran Taufik Ismail
Sebagai sastrawan
yang ‘lahir’ pada tahun 66’an dengan terbitnya puisi pertamanya yaitu Tirani
dan benteng, yang terlatarbelakangi dengan gejolak politik di masa orde baru, Taufik
mencoba mengungkapkan pendapat dan isi hatinya tentang apa yang terjadi saat
itu melalui rangkaian kata yang tesusun pada bait-baik benteng dan Tirani.
Ketika ia menjadi Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960–1961) dan Wakil Ketua
Dewan Mahasiswa (1960–1962), telah nampak bahwa ia gemar turun dan tercebur
dalam organisasi, terlihat pula bahwa beliu peduli terhadap perkembangan
politik bangsa. Karena tidak dipungkiri bahwa seseorang yang terjun ke dalam
ormawa akan tercebur juga pada dunia politik bangsa. Taufik mewarnai
sajak-sajaknya dengan warna-warni politik Indonesia.
Melaui sajaknya
dan puisi-puisinya yang sarat dengan tema sosial ini berisi kecemasan,
kesangsian, kebebasan, harapan dan angan-angan, cita-cita dan tekad, Taufik
mengabadikan segala yang terjadi di Indonesia. Menurutnya, jika tak mampu
berkata, dengan puisilah ia akan memotret dan membungkus sejarah Indonesia,
seperti yang terekam pula dalam bait sajak “dengan puisi aku” oleh taufik
Ismail.
Dari Nafas Politik
yang menghidupkan sajak-sajak Taufik Ismail inilah dapat kita ketahui bahwa
tema-tema puisi yang diciptakan Taufik Isamil ini masih seputar Kritik Sosial,
begitu pula dengan rekan-rakan sastrawan lain yang ‘lahir’ dan ‘hidup’ pada
tahun 60’an, yang ikut mencicipi pergolakan politik pada saat itu.
IV.
Karya-karya
Taufik Ismail
SALEMBA
Alma Mater, janganlah bersedih
Bila arakan ini bergerak perlahan
Menuju pemakaman
Siang ini
Anakmu yang berani
Telah tersungkur ke bumi
Ketika melawan tirani
Secara tersirat, tema puisi diatas adalah sosial politik. Seperti ciri dari angkatan ’66-an, tema dari karya-karya yang ada yaitu protes politik. Dari puisi diatas, dengan jelas mengambarkan perlawanan mahasiswa pada tahun 1966, ketika demonstrasi menuntut membubarkan PKI dan Ormas-ormasnya.
Puisi tersebut tak hanya berisi suatu protes belaka, tapi didalamnya juga tersirat sebuah motivasi untuk tetap maju dan bangkit melawan keadaan yang tak menentu pada saat itu. Seperti yang tersurat pada bait pertama,
//Alma Mater, janganlah bersedih
Bila arakan ini bergerak perlahan
Menuju pemakaman
Siang ini//
BENDERA
Mereka yang berpakaian hitam
Telah berhenti di depan sebuah rumah
Yang mengibarkan bendera duka
Dan masuk dengan paksa
Mereka yang berpakaian hitam
Telah menurunkan bendera itu
Di hadapan seorang ibu yang tua
”Tidak ada pahlawan meninggal dunia!”
Mereka yang berpakaian hitam
Dengan hati yang kelam
Telah meninggalkan rumah itu
Tergesa-gesa
Kemudian ibu tua itu
Perlahan menaikkan kembali
Bendera yang duka
Ke tiang yang duka
Untuk mengetahui maksud dan pemikiran taufik dari puisi
Taufik yang berjudul “Bendera”, kita akan menggunakan analisis dari unsur-unsur
Ekstrinsik puisi tersebut. Dimulai
dari Riwayat Hidup pengarang. Taufik merupakan mahasiswa yang aktiv dalam
ormawa ketika tahun 1960-an. Tentu dalam kehidupannya berorganisasi menyangkut
keadaan politik pada masa itu. Dalam masalah kesenian, Taufik juga turut
berkiprah, Beliau merupakan salah satu pendiri Dewan Kesenian Jakarta.
Sebab-sebab muncul puisi taufik yaitu keadaan politik pada tahun 1966.
Sebelumnya karya sastra pada tahun 1945 bertemakan nasionalisisme, yang
dikarenakan pada saat itu Indonesia
baru merdeka. Tapi ketika masuk pada tahun 1960-an, agaknya para sastrawan
mulai menyoroti pemerintahan dengan segala kegiatan politiknya. Kondisi
perekonomian saat itu dirasa semakin mencekik rakyat, ditambah pula dengan
usaha PKI untuk merebut segala posisi penting untuk menguasai.
Puisi diatas menggambarkan bangsa yang berduka atas
keadaan masyarakat yang pada saat itu kembali dilanda tragedi kemanusiaan, kemiskinan dan situasi
politik yang panas pada masa peralihan orde lama ke orde baru.
Karangan BungaTiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu.
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang di tembak mati
siang tadi’
Malu (aku) Jadi Orang Indonesia
I
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini
II
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama,
Di negeriku rupanya sudah diputuskan
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
Puisi-puisi di
atas, terkumpul dalam satu buku kumpulan puisi taufik ismail, yaitu Tirani dan
Benteng, Yayasan Ananda (1993). Dalam ketiga puisi di atas, Taufik Ismail focus
pada situasi politik Indonesia pada saat itu. Dalam Puisi Karangan Bunga dan
Salemba, Taufik mencoba mengungkapkan keprihatinannya atas tragedy yang terjadi
pada tragedy trisakti. Tragedi melawan orde baru yang dialami para mahasiswa
menuju era reformasi salah satu di antaranya adalah dari kampus perjuangan
Trisakti di bulan Mei tahun 1998. Enam kuntum muda berjaket alma mater biru tua
yang bersimbah darah gugur di halaman kampusnya sendiri, ditembus peluru
’karet’ yang pastinya sangat tajam hingga dada-dada para pemuda harapan bangsa
itu penuh darah dan roboh sebagai pahlawan.
Berikut
adalah puisi Taufik Ismail yang dibacakan didepan KPU pada tahun 2004.
KETIKA INDONESIA DIHORMATI DUNIA
Dengan rasa rindu kukenang pemilihan umum setengah abad yang lewat
Dengan rasa kangen pemilihan umum pertama itu kucatat
Peristiwa itu berlangsung tepatnya di tahun lima puluh lima
Ketika itu sebagai bangsa kita baru sepuluh tahun merdeka
Itulah pemilihan umum yang paling indah dalam sejarah bangsa
Pemilihan umum pertama, yang sangat bersih dalam sejarah kita
Waktu itu tak dikenal singkatan jurdil, istilah jujur dan adil
Jujur dan adil tak diucapkan, jujur dan adil cuma dilaksanakan
Waktu itu tak dikenal istilah pesta demokrasi
Pesta demokrasi tak dilisankan, pesta demokrasi cuma dilangsungkan
Pesta yang bermakna kegembiraan bersama
Demokrasi yang berarti menghargai pendapat berbeda
Pada waktu itu tak ada huru-hara yang menegangkan
Pada waktu itu tidak ada setetes pun darah ditumpahkan
Pada waktu itu tidak ada satu nyawa melayang
Pada waktu itu tidak sebuah mobil pun digulingkan lalu dibakar
Pada waktu itu tidak sebuah pun bangunan disulut api berkobar
Pada waktu itu tidak ada suap-menyuap, tak terdengar sogok-sogokan
Pada waktu itu dalam penghitungan suara, tak ada kecurangan
Itulah masa, ketika Indonesia dihormati dunia
Sebagai pribadi, wajah kita simpatik berhias senyuman
Sebagai bangsa, kita dikenal santun dan sopan
Sebagai massa kita jauh dari kebringasan, jauh dari keganasan
Tapi enam belas tahun kemudian, dalam 7 pemilu berturutan
Untuk sejumlah kursi, 50 kali 50 sentimeter persegi dalam ukuran
Rakyat dihasut untuk berteriak, bendera partai mereka kibarkan
Rasa bersaing yang sehat berubah jadi rasa dendam dikobarkan
Kemudian diacungkan tinju, naiklah darah, lalu berkelahi dan berbunuhan
Anak bangsa tewas ratusan, mobil dan bangunan dibakar puluhan
Anak bangsa muda-muda usia, satu-satu ketemu di jalan, mereka sopan-sopan
Tapi bila mereka sudah puluhan apalagi ratusan di lapangan
Pawai keliling kota, berdiri di atap kendaraan, melanggar semua aturan
Di kepala terikat bandana, kaus oblong disablon, di tangan bendera berkibar=
an
Meneriak-neriakkan tanda seru dalam sepuluh kalimat semboyan dan slogan
Berubah mereka jadi beringas dan siap mengamuk, melakukan kekerasan
Batu berlayangan, api disulutkan, pentungan diayunkan
Dalam huru-hara yang malahan mungkin, pesanan
Antara rasa rindu dan malu puisi ini kutuliskan
Rindu pada pemilu yang bersih dan indah, pernah kurasakan
Malu pada diri sendiri, tak mampu merubah perilaku
Bangsaku.
V. Pandangan Masyarakat Terhadap Karya Taufik Ismail
Jika kita lihat dari kebanyakan karya taufik ismail, sajak-sajak Taufik Ismail sarat dan kental akan warna politik bangsa, seperti ,pada "Tirani" dan "Benteng" yang menyerang pemerintahan. Begitu juga dengan sajaknya yang dibacakan di depan KPU, “Ketika Indonesia dihormati dunia” terlihat sekali nuansa politiknya.
Masyarakat Telah memberi Taufik Ismail Lebel sebagai sastrawan politikus. Bahkan Taufik sering membenturkan isu budaya, pendidikan, ekonomi dan sosial dengan hiruk-pikuk yang berbau politik. Hal ini bisa dibuktikan sejak pertama kali ia menyandang gelar penyair pada tahun 1966. ketika itu, dengan semangat yang luar biasa— melalui sajak ”Tirani” dan ”Benteng”nya ia cukup andil menumbangkan Orde Lama (Soekarno), dan kita lihat di sana bagaimana ia menggambarkan zaman yang bergolak dan penuh idealisme itu. Lalu dilaksanakanlah Pemilu dengan hura-hura berdarah, segala tipu dan fitnah dalam teriakan histeris jurdil dan pesta demokrasi. Dan dengan gegap gempita masyarakat bergegas menyongsong lahirnya Orba. Kemudian saat Orba ditumbangkan (1998), Taufik ”malu-malu” meluncurkan buku berjudul Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia.
Sajak Taufik memang mempunyai spirit juang yang tinggi dan Taufik adalah sastrawan politikus, yang kemudian citra ini lambat laun semakin pupus dan tergantikan dengan stigma negatif ketika Taufik menciptakan sajak yang ganjil menurut masyarakat. Sajak Taufik dianggap ambivalen dan hiperbolis dalam melihat masa lalu.
Misalnya pada bait di bawah ini.
Antara rasa rindu dan malu puisi ini kutuliskan
Rindu pada pemilu yang bersih dan indah, pernah kurasakan
Malu pada diri sendiri, tak mampu merubah perilaku
Bangsaku.
Masyarakat menangkap bahwa dari sajak itu taufik mengungkapkan bahwa Taufik seperti mengalami kekecewaan yang luar biasa, sangat terpukul dengan kondisi Orde Reformasi. Bahkan ia seakan telah menyesali kenyataan kehidupan berkebangsaan yang sekarang ini kita jalankan bersama. Mungkin Taufik menganggap bahwa proses reformasi ini terlalu pahit bagi kehidupan politiknya.
Sampai akhir sajak itu ditulis ”Ketika Indonesia Dihormati Dunia” Taufik menunjukkan ratapan yang dahsyat dan merindui masa lalu yang sudah tenggelam. Ia seakan telah memerankan tokoh dalam kehidupan tanpa opsi dan solusi. Sastra yang seharusnya sebagai ruang pertemuan antara batin dan kenyataan, kandas di jalan, atau dalam bahasa Rene Wellek, Taufik gagal memakai medium bahasa untuk institusi sosial. Menurut Teeuw sastra jenis ini telah kehilangan peran dalam meredamkan ketegangan antara konvensi (tradisi) dan inovasi (pembaruan). Sebab peran sastra sepanjang masa hendak memperjuangkan peralihan-peralihan formasi baru yang dapat dianggap menjalani transformasi dan sintesis. Tanpa adanya kerinduan yang berlebihan terhadap kebangkitan kembali nilai-nilai masa lalu.
VI. Ciri- ciri angkatan 1966
Ciri2 angkatan 66 menurut HB Jassin, antara lain : mempunyai konsepsi pancasila, menggemakan protes sosial dan politik dan membawa kesadaran nurani manusia yang bertahun-tahun mengalami kezaliman dan perkosaan terhadap kebenaran dan rasa keadilan serta kesadaran akan moral dan agama.
Kalau kita mengamati semua karya yang lahir pada kurun waktu 1960-an, dapat kita simpulkan cirri-ciri ankatan ’66, sebagai berikut :
1. Tema karya berupa protes atau kritik sosial.
2. Aliran realisme dengan karya utama berupa puisi berbau protes.
3. memperhatikan isi dan nilai estetis.
4. Mulai muncul puisi dengan gaya bercerita.
5. karya menggambarkan masalah kemasyarakatan yang lebih menyorot tentang perekonomian yang buruk, pengangguran, dan kemiskinan.
6. Cerita tentang pertentangan politik pemerintahan lebih banyak mengemuka dan cerita dengan latar peperangan mulai berkurang.
7. Banyak menggunakan gaya retorik.
VII. Kelebihan dan Kekurangan Angkatan ‘66
Karya yang terbit yang dinamai sebagai angkatan 66, merupakan suatu gebrakan dari masyarakat yang merasa tertindas dan terinjak-injak. Karya-karya ini juga membangunkan masyarakat yang selama ini masih terbuai dengan kemerdekaan yang baru dirasakan selama kurang lebih 21 tahun. Dalam pikiran mereka kemerdekaan telah berada pada tangan mereka, mereka juga masih belum mengerti bagaimana kemerdekaan itu. Kemudian muncullah karya-karya yang membuka mata mereka dan mendorong masyarakat untuk berani mengungkapkan kejanggalan yang mereka rasakan pada saat itu.
Kelebihan dari angkatan ‘66 yaitu :
• Kata-kata gamblang dan mudah dimengerti.
• Lepas dari ikatan-ikatan lama, sehingga lebih bisa mengeksplor ekspresi dan pesan.
• Karyanya mewakili perasaan masyarakat pada saat itu.
• Jadi motivasi masyarakat untuk berani menyuarakan aspirasinya.
• Karya-karnyanya merupakan potret nyata dari polemik yang terjadi pada saat itu.
• Mempunyai konsepsi pancasila.
Kelemahan dari angkatan ’66 yaitu :
• Tema terlalu dan hanya menyudut masalah sosial politik dan berbelit pada politik, sehingga masyarakat bias antara sastrawan dengan politikus.
• Kritikan serta sindiran yang tajam semakin memperuncing polemik, sehingga hingga kini masih menjadi polemic yang sewaktu-waktu akan muncul.
• Sebagian karyanya yang muncul di era reformasi, dianggap teralalu membangga-banggakan masa lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar